Jakarta,(6,12,2025). liputan86.site — Indonesia, negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, tengah menghadapi tantangan serius dalam tata kelola pemerintahan. Sejumlah pengamat kebijakan, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil menyoroti bahwa institusi publik — pilar utama reformasi selama dua dekade terakhir — kini menunjukkan tanda-tanda kemunduran yang signifikan.
Faktor-faktor struktural, termasuk birokrasi yang tidak efisien, penegakan hukum yang inkonsisten, jaringan bisnis-politik yang semakin kuat, hingga ekspansi industri ekstraktif, telah berkontribusi pada melemahnya akuntabilitas publik dan menurunnya kepercayaan masyarakat.
Birokrasi Tidak Responsif dan Proses Publik yang Berbelit
Birokrasi yang seharusnya menjadi sarana memudahkan layanan publik kini dinilai semakin lamban dan kompleks. Prosedur panjang, ketidaktransparanan informasi, serta dugaan pungutan liar menjadi keluhan yang sering muncul dari masyarakat kecil.

Warga menghadapi tantangan besar hanya untuk memperoleh dokumen resmi atau bantuan sosial, sementara waktu dan biaya yang dikeluarkan seringkali jauh melampaui manfaat yang diterima. Kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa birokrasi lebih melayani kepentingan internal atau kelompok tertentu daripada masyarakat luas.
Penegakan Hukum: Rakyat Kecil Terluka, Elite Terlindungi
Sistem hukum menjadi sorotan utama. Analisis berbagai kasus menunjukkan bahwa rakyat kecil lebih sering menjadi target hukum, sementara pelanggaran pihak berpengaruh sering luput dari sanksi.
Praktik intimidasi, proses hukum yang tidak transparan, serta dugaan transaksi politik atau ekonomi dalam proses penyidikan memperkuat persepsi bahwa hukum lebih menjadi alat kekuasaan daripada instrumen keadilan.
DPR dan Representasi Publik: Dari Wakil Rakyat Menjadi Wakil Partai
Lembaga legislatif yang seharusnya menjadi wakil rakyat kini menjadi salah satu titik kritis. Sejumlah pengamat menilai DPR lebih sibuk memperjuangkan kepentingan partai politik, akses kekuasaan, dan jaringan bisnis daripada suara masyarakat.
Dugaan korupsi, lobi tertutup, dan politik transaksional dalam pengambilan keputusan menimbulkan kesan bahwa lembaga ini kehilangan arah sebagai representasi publik. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu dibanding kepentingan rakyat.
Konflik Lahan dan Ekspansi Industri Ekstraktif
Perebutan lahan dan sumber daya alam meningkat, terutama di wilayah pertambangan, perkebunan, dan industri skala besar. Perusahaan dengan akses politik kuat sering menggeser masyarakat adat dan warga pedesaan dari ruang hidup mereka, mengancam keberlanjutan ekologis, serta memengaruhi kesejahteraan jangka panjang.
Para ahli lingkungan memperingatkan bahwa eksploitasi yang tidak terkendali tidak hanya merugikan masyarakat lokal, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak sosial dan ekologis yang luas.
Korupsi Terstruktur dan Tender Formalitas
Korupsi tetap menjadi masalah paling menonjol. Sistem pengadaan barang dan jasa menjadi titik rawan utama. Tender yang seharusnya transparan dan kompetitif seringkali hanya formalitas belaka, karena pemenang proyek sudah ditentukan sebelumnya melalui kesepakatan politik atau ekonomi.
Fenomena ini menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar, serta menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi manfaat pembangunan.
Arah Kebijakan Nasional: Investor Besar vs Rakyat Kecil
Kawasan industri strategis seperti Morowali mengalami peningkatan investasi asing signifikan. Namun, pekerja lokal masih menghadapi tantangan upah, keselamatan kerja, dan keterbatasan akses ekonomi.
Pengamat menilai arah kebijakan nasional kini lebih fokus pada kepentingan pemodal besar, sementara kepentingan rakyat kecil menjadi prioritas sekunder.
Arizal Mahdi: Suara Reformasi dan Akuntabilitas
Dalam kondisi ini, Arizal Mahdi, Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, menjadi salah satu tokoh publik yang menyerukan reformasi menyeluruh. Ia menekankan perlunya langkah struktural untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan keberpihakan negara pada rakyat kecil.
Menurut Arizal, reformasi harus dimulai dari:
Penyederhanaan birokrasi dan prosedur publik
Pemulihan integritas penegakan hukum
Transparansi anggaran dan pengadaan proyek
Penghentian praktik jual beli proyek
Reorientasi kebijakan nasional kepada kepentingan rakyat kecil
Pandangan ini sejalan dengan meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil dan pengamat kebijakan yang menekankan bahwa pembangunan nasional harus memberikan manfaat nyata bagi seluruh warga, bukan hanya kelompok tertentu dengan akses ekonomi atau politik.
Seruan untuk Reformasi Nasional
Para pakar, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil menilai Indonesia membutuhkan agenda reformasi nasional yang lebih tegas dan menyeluruh. Tanpa tindakan cepat dan konsisten, kesenjangan antara kebijakan dan kebutuhan rakyat diprediksi akan terus melebar, yang berpotensi melemahkan stabilitas dan target pembangunan jangka panjang.(luq,team).










